Selasa, 21 Februari 2017

Ta’arudh Bayna Adillah (Pertentangan Antar Dalil)

Penulis: Ismail Abdullah

Dalam keberangsuran turunnya wahyu ditemukan adanya dalil-dalil yang terkesan bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya (ta’arudh bayna adillah). Hal ini sering dijadikan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang ingin menyesatkan umat Islam. Misalnya dengan menganggap perbedaan pendapat (penyimpangan pendapat) sebagai hal yang juga ditemukan dalam tasyri’ hukum Islam. Bagaimana melihat konteks pertentangan antara dua dalil ini?

Definisi

Rachmat Syafi’i menulis, secara etimologi ta’arudh berarti pertentangan. Sementara al-adillah merupakan bentuk jamak dari kata dalil yang artinya alasan, argumen dan dalil. Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’arudh al-adillah, diantaranya sebagai berikut (Ilmu Ushul Fikih, 2010:225):
(1) Menurut Imam Asy Syaukani, ta’arudh al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu.
(2) Menurut Kamal Ibnu Al Humam dan At Taftazani, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara dual dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
(3) Ali Hasballah berpendapat bahwa ta’arudh al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
Khudari Beiqh juga memberikan pendapat, bahwa ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara dua buah dalil. Pertentangan dua dalil tersebut dapat berkonsekuensi menggugurkan suatu dalil lainnya.
تعارض ان يقتضى كل من دليلين عدم ما يقتضيه الاخر
“Pertentangan dari dua dalil, dimana suatu dalil meniadakan apa yang ditunjukkan oleh dalil lainnya.” (Khudari Beiqh, Ushul Fiqih, hal.358)
Abdul Wahab Khalaf menulis definisi ta’arudh seperti di bawah ini:
اعتراض كل واحد منها الآخر.
والتعارض بين الدليلين الشرعيين معناه في اصطلاح الأصوليين: اقتضاء كل واحد منهما في وقت واحد حكماً في الواقعة يخالف ما يقتضيه الدليل الآخر فيها
Secara bahasa ta’arudh berarti pertentangan masing-masing dari suatu dalil dengan dalil yang lain. Dalam istilah ulama ushul, pertentangan antara dua buah dalil syar’i artinya kehendak masing-masing dari dua dalil dalam satu waktu keputusannya, saling berbeda dalam kenyataan apa yang dikehendaki dalil yang lain.

Syarat-syarat

Sebagaimana disebutkan di atas, apabila ditemukan pertentangan antara dua dalil, maka salah satu dalil akan digugurkan oleh dalil yang lainnya. Pertanyaannya dalil bagaimana yang dapat diperlakukan dalam hal seperti ini? Para ulama menentukan pertentangan antara dua dalil tersebut pada derajat yang sama. Maksud pada derajat yang sama misalnya ayat dengan ayat, atau hadits mutawatir dengan yang sama (Syafi’i, 2010:225).
Syeikh Imam Juwaini al-Haramain dalam matan al-Waraqaat menulis, “Apabila ada dua dalil yang saling bertentangan, maka tidak bebas dari sifat ‘Am (umum) keduanya atau khas keduanya, atau salah satunya ‘Am dan lainnya khos atau masing-masing keduanya ‘Am dilihat dari satu segi dan khos dilihat dari segi lainnya.” (1996:14).
ولا يَتَحَقَّقُ التَّعَارَضَ بينَ دليليْنِ شرعيينِ إلا إذَا كَانَا في قُوَّةٍ واحدةٍ، أمَّا إذا كان اَحَدَ الدليلينِ أَقْوَى من الآخرِ، فإنه يتبع الحكم الذي يقتضيه الدليل الأقوى ولا يتلف لخلافه الذي يقتضيه الدليل الآخروعلى هذا يتحقق التعارض بين نص قطعي وبين نص ظني، ولا يتحققالتعارض بين نص وبين إجماع أو قياس، ولا بين إجماع وبين قياسويمكن بين آيتين أو حدثين متواترين أو بين آية وحديث متواتر، أو حدثين غير متواترين أو بين قياسين.
“Tidaklah dibenarkan pertentangan antara dua dalil syar’i kecuali apabila dua dalil tersebut dalam kekuatan yang sama. Adapun jika salah satu dalil lebih kuat dari yang lainnya, maka hukum mengikuti yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan tidaklah rusak hukumnya karena perbedaan yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Pada segi ini dibenarkan pertentangan antara nash qath’i dan antara nash zhanni. Tidaklah dibenarkan pertentangan antara nash dan ijma atau kias, dan tidak juga antara ijma dan qiyas. Sementara pertentangan boleh antara dua ayat atau dua hadist mutawatir atau antara ayat dan hadits mutawatir atau dua hadits selain mutawatir atau antara dua kias” (Khallaf, 230/1)

Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah

Penyelesaian ta’arudh al-adillah yang dikenal masyhur di kalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah (Syafi’i, 2010:227):
Menurut Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut:
(1) Nasikh
Nasikh adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian, yang mengandung hukum yang berbeda. Seorang mujtahid harus melacak sejarah kedua dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang datang kemudian. Misalnya tentang iddah wanita hamil, yakni antara surah At-Thalaq (ayat 4) yang menyatakan bahwa ‘iddah wanita hamil sampai melahirkan, dengan surah Al-Baqarah (ayat 234) yang menyatakan bahwa ‘iddah kematian suami 4 bulan 10 hari. Menurut jumhur ulama, Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa ayat pertama (At Talaq: 4) datang kemudian, sehingga ditetapkan ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan.
(2) Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil bertentangan sulit untuk dilacak sejarahnya, maka bisa menggunakan tarjih dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendukung dalil-dalil tersebut. Untuk melakukan tarjih, dapat dilihat dari tiga sisi:
a) Petunjuk terhadap kandungan lafazh suatu nash. Misalnya menguatkan nash yang hukumnya pasti (muhkam) dan tidak bisa dihapus daripada nash yang hukumnya pasti namun bisa diubah (mufassar).
b) Dari segi yang dikandungnya. Misalnya menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
c) Dari segi keadilan periwayatan suatu hadits.
(3) Jama’ wa Taufiq
Yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya, berdasarkan kaidah, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya firman Allah swt dalam surah Al Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
Artinya: “Telah diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…”
Ayat di atas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat lain dalam surah Al An’am ayat 145:
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
Artinya: “…kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir…”
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
(4) Tasaquth ad-Dalilain
Tasaquth ad-dalilain adalah menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari dalil yang lebih rendah. Hal ini ditempuh apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara di atas. Misalnya ada pertentangan antara dua ayat, sedangkan ketiga cara di atas tidak bisa dipakai, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengambil keterangan yang lebih rendah dari al-Qur’an, yaitu as-Sunnah. Apabila masih tetap bertentangan, maka diambil metode qiyas (analogi). Namun menurut Ulama Hanafiyah, seorang mujtahid hanya boleh mengambil dalil yang lebih rendah apabila telah menggunakan ketiga cara tersebut. Dan penggunaan metode penyelesaian ta’arudh al-adillah harus secara berurutan.
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
(1) Jama’ wa Taufiq
Menurut syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah, cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut. Alasan mereka adalah kaidah menyatakan, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Cara yang digunakan untuk mengompromikan kedua dalil tersebut menurut mereka ada tiga:
a) Membagi kedua hukum yang bertentangan.
b) Memilih salah satu hukum. Misalnya ada hadits di bawah ini:
لاَ صَلَا ةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ اِلّاَ فِي الْمَسْجِدِ
Artinya: “Tidak sempurna shalat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Kata “laa” dalam hadits tersebut menurut ulama ushul fiqh mempunyai banyak arti, bisa berarti “tidak sah”, “tidak sempurna” dan “tidak utama”. Seorang mujtahid boleh memilih salah satunya asalkan didukung oleh dalil-dalil lain.
c) Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa ‘iddah wanita yang hamil. Yang menurut Hanafiyah menggunakan metode nasakh.
(2) Tarjih
Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.
(3) Nasakh
Apabila cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan cara ketiga atau nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil yang datang kemudian.
(4) Tasaquth ad-Dalilain
Cara keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila cara pertama, kedua, dan ketiga tidak bisa ditempuh, menurut golongan ini adalah tasaquth ad-dalilain. Yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah. Keempat cara di atas harus ditempuh secara beruntun.
***
Syeikh Imam Haramain al Juwaini (1996:14), menjelaskan tentang kaidah pertentangan antara dua dalil. Beliau rahmatullah ‘alaihi menulis:
(1) Apabila terdapat dua dalil umum, dan keduanya dapat dijama’ maka dijama’. Syeikh Jalaluddin dalam syarahnya mencontohkan:
“Saksi paling buruk adalah yang memberi persaksian sebelum diminta”.
Dalam hadits lainnya ditemukan, “Sebaik-baik saksi adalah yang memberi persaksian sebelum diminta”.
Kedua hadits di atas bersifat umum dan berlawanan, tetapi dapat dikompromikan dengan pengertian:
a) Saksi tanpa diminta adalah saksi yang jelek jika dia tidak mengerti tentang persoalan yang disaksikannya.
b) Saksi tanpa diminta adalah saksi yang baik jika dia mengerti tentang persoalan yang disaksikan (Syarah al Waraqaat, 2005:103).
(2) Apabila keduanya tidak dapat dijama, dan tidak diketahui riwayat (sejarahnya) maka pengamalan kedua dalil itu ditinggalkan atau didiamkan. Apabila mengetahui riwayatnya, dalil yang terdahulu dinasakh oleh dalil yang datang kemudian. Imam Jalaluddin menambahkan (2005:104), pengamalannya ditangguhkan, jika belum diketahui riwayat turunnya, sampai tampak jelas murajjih (yang menguatkan) salah satunya, contohnya adalah firman Allah swt:
او ما ملكت ايما نكم
“…..atau (boleh kalian kumpuli) budak-budak kalian semua…”
وان تجمعوا بين الاختين
“…dan janganlah kalian mengumpulkan antara kakak beradik untuk dijadikan istri-istri atau (budak-budak yang kalian kumpuli)….”
Ayat pertama diatas mengandung pengertian boleh mengumpulkan kakak beradik (untuk bisa disetubuhi). Sedangkan ayat kedua mengharamkan hal itu. Tapi yang dimenangkan adalah hukum haram, karena hukum haram dalam kasus ini dinilai lebih berhati-hati. Hukum asal farji’ itu adalah haram (2005:105).
(3) Demikian juga yang terdapat pada dua dalil yang khos berlaku seperti dua dalil yang ‘am, yaitu apabila kedua dalil yang khos yang bertentangan tidak dapat di jama’ dan tidak diketahui riwayat turunnya, maka ditangguhkan pengamalannya sampai jelas murajjih (dalil yang menguatkan) salah satunya (2005:106), contohnya:
“Sesungguhnya Nabi saw ditanya tentang sesuatu yang halal bagi suami dan istrinya yang sedang haid. Beliau menjawab: Apa saja yang di atas sarung.” (HR Abu Dawud).
“Sesungguhnya Nabi saw ditanya tentang itu lalu menjawab: Lakukanlah apa saja, kecuali nikah (bersetubuh) termasuk menyetubuhi tubuh bagian atas sarung.” (HR Muslim).
Dua hadits di atas tampak berlawanan tapi sebagian ulama mentarjih hukum haram, karena berhati-hati. Sebagian ulama lain mentarjih hukum halal, karena hukum halal ini yang asli dalam wanita yang dinikahi.
Sementara apabila dua dalil yang khos ini dapat diketahui riwayat turunnya, maka dalil yang lebih awal dinasakh oleh dalil yang lebih akhir, sebagaimana hadits tentang ziarah kubur (2005:107).
(4) Apabila terdapat dari dua buah dalil, salah satunya bersifat ‘am dan yang lainnya khos, maka dalil yang ‘am ditakhsis dengan dalil yang khos. Dalam syarah al Waraqaat diterangkan (2005:109):
لعشرا السماء سقت فيما
Hasil tanaman yang diairi hujan itu zakatnya sepuluh persen.”
Hadits di atas kemudian ditakhsis dengan hadits:
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة
Hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq tidak ada zakatnya.”
(5) Apabila dua dalil yang bertentangan itu terdapat dalil yang ‘am dari suatu sisi, dan bersifat khos dari sisi lainnya, maka sisi ‘am masing-masing dari keduanya, ditakhsis dengan sisi yang khos masing-masing yang lain. Contoh kaidah ini dapat diterangkan sebagai berikut:
Air apabila telah mencapai dua qullah maka tidak bisa najis.” (HR Abu Dawud)
Air itu tidak dapat dinajiskan oleh apapun, kecuali jika berubah baunya, rasanya dan warnanya.” (HR Ibnu Majah)
Hadits pertama itu khos (terbatas) dengan dua qullah, tetapi ‘am dalam segi perubahannya dan lainnya. hadits kedua khos (terbatas) dalam hal perubahannya, tetapi ‘am dalam ukuran, mencakup air yang mencapai dua qullah dan yang kurang dari dua qullah.
Dalam kasus ini segi keumuman hadits yang pertama ditakhsis dengan segi kekhususan hadits yang kedua sehingga melahirkan hukum (2005:109):
Air yang mencapai dua qullah (terkena najis) itu menjadi najis apabila berubah, dan tidak dihukumi najis jika tidak berubah.
Sedangkan segi keumuman hadits yang kedua ditakhsis dengan kekhususan hadits pertama, sehingga melahirkan hukum:
Air yang kurang dari dua qullah, jika terkena najis maka menjadi najis, baik berubah atau tidak.
(6) Apabila tidak memungkinkan mentakhsis keumuman masing-masing dalil dengan kekhususan masing-masing dalil yang lain, maka diperlukan mentarjih diantara keduanya dalam hal yang bertentangan, seperti dua hadits Nabi saw:
من بدل دينه فاقتلوهم
“Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari)
انه صلى الله عليه و سلم نهى عن قتل النساء
“Sesungguhnya Rasulullah saw melarang membunuh orang-orang perempuan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits pertama ‘am mencakup laki-laki dan perempuan, dan sisi khos ditujukan untuk orang-orang yang murtad. Hadits kedua khos (terbatas) untuk perempuan dan sisi ‘am mencakup wanita kafir harbi dan wanita murtad. Kedua hadits tersebut bertentangan dalam masalah wanita murtad, apakah ia dibunuh atau tidak. Menurut pendapat yang rajih, bahwa murtad itu harus dibunuh (2005:109).

Pertentangan Dalil Bukan Pada Hakikatnya

Pertentangan antara dua dalil bukan berarti terjadi kontradiksi dari Pembuat Hukum, yaitu Allah swt. Syekh Abdul Wahab Khalaf menulis:
ومما ينبغي التنبيه لهانه لا يوجد تعارض حقيقي بين آيتين أو بين حديثين صحيحين أو بين آية وحديث صحيح، وإذا بدا تعارض بين نصين من هذه النصوص فإنما هو تعارض ظاهري فقط بحسب ما يبدو لعقولنا، وليس بتعارض حقيقي، لأن الشارع الواحد الحكيم لايمكن أن يصدر عنه نفسه دليل آخر يقتضي في الواقعة نفسها حكماً خلافة في الوقت الواحد.
“Sebaiknya diperhatikan dari ta’arudh bayna adillah yaitu sesungguhnya tidaklah terjadi pertentangan hakiki antara dua ayat, atau dua buah hadits shahih, atau antara ayat dan hadits shahih. Apabila tampak pertentangan antara dua nash dari nash-nash yang ada, sesungguhnya hanyalah pertentangan secara zhahir (yang tampak) saja, dengan anggapan yang tampak oleh pikiran kita. Tidak ada pertentangan hakiki, karena sesungguhnya As Syari’, satu-satunya pembuat hukum. tidaklah mungkin Dia meletakkan suatu dalil lain yang dikehendakinya pada suatu kejadian, kemudian Dia menetapkan hukum yang berbeda pada suatu waktu lain.”

Penutup

Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa sebenarnya tidaklah ada perbedaan atau kontradiksi di antara hukum-hukum Allah swt. Sehingga tidaklah dibenarkan apabila seorang muslim atau pihak lain membuat kesimpulan berbeda dari hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah swt. Apalagi jika sampai menyelisihi ketetapan hukum Allah swt.
Wallahu a’lam.

kunjungi tafaqquh.com untuk mengetahui lebih banyak hal tentang Fiqh.